Situs Pejambon, Pesawaran; Tak Dikenal dan Kini Terancam Hilang
Menyebut situs purbakala di Lampung, barangkali yang terlintas dalam benak adalah gambaran Situs Megalitik Batu Brak di Lampung Barat, Situs Megalitik Batu Bedil di Tanggamus, atau Situs Purbakala Pugung Raharjo, Lampung Timur. Ketiga situs tersebut memang bisa dikatakan seperti ikon kepurbakalaan megalitik di Lampung, tersebab artefak megalitiknya yang cukup monumental dan cakupan area situs yang luas, terlebih kini ketiganya dikelola dan menjadi destinasi wisata sejarah. Namun tak banyak yang mengetahui, bahwa Lampung setidaknya memiliki lebih dari 50 situs purbakala yang menyebar di seluruh wilayah kabupaten/kota. Jumlah tersebut merupakan data tak resmi hasil dari inventarisasi penulis sendiri berdasarkan publikasi riset para arkeolog yang sejak beberapa dekade lalu masif turun ke lapangan dan berhasil menyibak banyaknya jejak kehidupan Lampung purba.
![]() |
Gambar: Sebaran beberapa situs budaya megalitik di Lampung |
Situs Pejambon terletak di Kecamatan Negeri Katon, Kabupaten Pesawaran. Akses menuju lokasi tidak terlalu sulit, akses jalan raya hingga gang menuju situs sangat baik, hanya saja akses dari gang hingga titik situs harus melewati jalan onderlagh dan tanah dengan lingkungan berupa kebun karet dan kebun jagung milik warga hingga ke tepi sungai. Mulanya daerah ini bernama Negeri Sipin yang penduduknya adalah orang Pubiyan dari Gunung Kapuk. Setelah menjadi daerah kolonisasi sejak tahun 1915 nama daerah ini kemudian menjadi Pejambon yang dihuni oleh suku Jawa dan suku Lampung. Untuk menuju lokasi, titik peta di Google Maps dengan nama “Situs Pejambon” telah dibuat saat kegiatan hunting history beberapa saat yang lalu oleh para pegiat sejarah, agar memudahkan pengunjung untuk mencari lokasi.
Keberadaan situs ini ditemukan setelah ekskavasi arkeologi oleh Puslitbang Arkenas sekira tahun 1996/1997 dan hasilnya diketahui melalui publikasi penelitian Rr. Triwurjani, seorang arkeolog yang meneliti sebaran berbagai tinggalan budaya megalitik di DAS Way Sekampung. Situs Pejambon diidentifikasi oleh para peneliti sebagai sebuah situs pemukiman di meander Way Sekampung. Keberadaan meander sungai menandakan bahwa sungai Way Sekampung tergolong sungai dengan stadium tua, artinya sungai yang sudah sangat lama terbentuk dan tidak lagi mengalami banyak perubahan (Lobbeck, 1945; Triwurjani, 2011). Way Sekampung tercipta oleh dataran basalt Sukadana yang proses pembentukannya berlangsung sejak masa Pleistosen Awal atau zaman Dilluvium (sekitar 2 juta tahun yang lalu).
Hasil Temuan Arkeologis
Meskipun bukan situs yang temuannya sangat raya sebagaimana situs-situs besar di DAS Way Sekampung lainnya, berbagai temuan artefak di Situs Pejambon cukup beragam. Paling tidak lima unsur temuan diperoleh di situs ini, antara lain benteng parit, peralatan batu, tembikar, porselin/keramik, dan kerak besi. Keberadaan benteng parit mengelilingi gundukan tanah yang merupakan pemukiman masa lalu. Di meander seluas 4,1 ha itu terdapat dua gundukan tanah dan parit berjumlah dua buah membentuk dua ruang, yakni ruang I berbatasan langsung dengan sungai Way Sekampung dan ruang II berbatasan dengan gundukan tanah dan parit. Di ruang-ruang itu ditemukan berbagai artefak, seperti fragmen tembikar, sisa peralatan batu, fragmen porselin/keramik Tiongkok dari abad 13-14 dalam jumlah banyak dan dari abad ke-15-16 dalam jumlah sedikit, serta 200 gram sisa kerak besi. Tidak hanya itu, di luar benteng parit terdapat makam bertarikh abad ke-16 yang dikeramatkan oleh penduduk setempat.
Rekonstruksi Kehidupan Masa Lalu di Situs Pejambon
Berdasarkan karakteristik bentang alamnya, Situs Pejambon berada di pola aliran sungai dendritik yang terletak di kelokan atau meander sungai utama. Hal ini menjadi pola sangat umum berbagai situs pemukiman purba di Lampung, masyarakat Lampung lampau rupanya sangat memfavoritkan tipe lokasi ini untuk membangun pemukimannya. Lokasinya di tepi sungai ditambah adanya benteng parit menunjukkan adanya rekayasa ruang hunian dengan benteng perlindungan, seperti tebing sungai, lekukan tanah, anak sungai, atau rawa-rawa. Mata pencaharian masyarakatnya sangat jelas bercorak agraris berdasarkan temuan artefak berupa alat-alat batu, dan kerak besi.
Situs ini diperkirakan dihuni sejak berakhirnya masa megalitik hingga berkembangnya pengaruh Hindu-Budha di Lampung. Jejak megalitik nampak dari gundukan tanah/gumuk yang berasosiasi dengan benteng parit serta berbagai temuan artefak di dalam dan di luar benteng. Puncak pemukiman di situs ini diperkirakan berlangsung pada abad ke-13 hingga 14 dimana temuan lepas berupa porselin Tiongkok dari masa dinasti Sung dan Yuan ditemukan dalam jumlah banyak, dan setelahnya sempat ditinggalkan cukup lama oleh pemukimnya. Baru pada akhir abad ke-15 dan ke-16 situs ini kembali dihuni dengan ditemukannya fragmen porselin Thailand dan adanya makam berangka tahun 1502. Namun jumlah temuan dari abad ini sangat terbatas, menandakan lokasi ini tak lama dihuni dan kembali ditinggalkan oleh pemukimnya. Tidak ditemukannya mata uang sezaman seperti kepeng menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang berlaku di situs pemukiman ini adalah barter, meskipun demikian hubungan dengan pihak luar telah terjalin dengan adanya berbagai pecahan porselin Tiongkok dari beberapa era dinasti di dalam area situs.
Penting untuk Pembelajaran Sejarah Lokal
Situs Pejambon sangat penting sebagai bagian dari sejarah lokal di Lampung, karena menjadi bukti otentik perkembangan pemukiman masyarakat Lampung dan budayanya pada masa lalu. Bagi penelitian sejarah lokal, keberadaannya menjadi salah satu bukti otentik sumber sejarah yang bersifat kebendaan (remains) berupa artefak-artefak sebagai tinggalan budaya manusia lampau. Kajian sejarah lokal di Lampung terbilang masih belum banyak dibandingkan dengan kajian ilmu-ilmu sosial lainnya. Objek kajian sejarah lokal sendiri dapat berupa Peristiwa Sejarah Lokal, Tokoh Sejarah Lokal, atau Peninggalan Sejarah Lokal. Situs Pejambon dapat dikategorikan sebagai peninggalan sejarah lokal, yaitu segala jenis bentuk tinggalan masa lampau yang memiliki nilai penting bagi sejarah lokal.
Sedangkan bagi pendidikan sejarah keberadaan Situs Pejambon dapat dimanfaatkan sebagai sumber dan media pembelajaran sejarah di sekolah. Keberadaannya yang relatif dekat dengan peserta didik dan berada di sekitar mereka akan membuat upaya kontekstualisasi pembelajaran sejarah nasional dengan kelokalan akan lebih mudah. Sebab sejarah menjadi lebih dekat dengan peserta didik, apalagi di sekitar Situs Pejambon banyak berdiri sekolah-sekolah yang jaraknya relatif dekat (SDN 17 Negeri Katon, SMP PGRI Pejambon, SMAN 2 Negeri Katon, dan Ponpes RMI NU Nurul Huda).
Sedangkan bagi pendidikan sejarah keberadaan Situs Pejambon dapat dimanfaatkan sebagai sumber dan media pembelajaran sejarah di sekolah. Keberadaannya yang relatif dekat dengan peserta didik dan berada di sekitar mereka akan membuat upaya kontekstualisasi pembelajaran sejarah nasional dengan kelokalan akan lebih mudah. Sebab sejarah menjadi lebih dekat dengan peserta didik, apalagi di sekitar Situs Pejambon banyak berdiri sekolah-sekolah yang jaraknya relatif dekat (SDN 17 Negeri Katon, SMP PGRI Pejambon, SMAN 2 Negeri Katon, dan Ponpes RMI NU Nurul Huda).
Kondisi Terkini Situs Pejambon
Sayangnya, dibalik nilai dan arti penting dari keberadaan Situs Pejambon, membayangi sejumlah ancaman dan kekhawatiran. Situs ini telah rusak, jika tidak ingin dikatakan sebagiannya bahkan telah hilang. Saat penelusuran keberadaan Situs Pejambon beberapa waktu yang lalu bersama rekan-rekan pegiat sejarah, kondisinya tak lagi sebagaimana yang dideskripsikan dalam laporan hasil penelitian oleh para arkeolog dua setengah dekade yang lalu.
Lokasi situs ini sesungguhnya tak terlalu sulit dicari, laporan tentang hasil ekskavasi Situs Pejambon cukup lengkap memuat titik koordinatnya. Hanya saja jalan menuju ke situs di tepi sungai yang agak sulit, mengingat kondisi jalan masih berupa tanah. Meski demikian, mengkonfirmasi kepada penduduk setempat tetap dirasa perlu, sekaligus memohon izin untuk menyambanginya. Rupanya masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaan situs yang dimaksud, mereka hanya mengetahui adanya makam panjang yang sering diziarahi oleh masyarakat dari tempat lain, khususnya suku Lampung yang dianggap oleh warga setempat kemungkinan adalah makam leluhurnya. Keberadaan makam ini juga disebutkan dalam laporan arkeologi yang diidentifikasi sebagai makam keramat. Maka cukup meyakinkan bahwa keberadaan situs memang berada di sekitar makam itu. Hal ini juga menjadi keunikan tersendiri, sebab hampir seluruh situs megalitik di DAS Way Sekampung selalu dijumpai adanya makam keramat di dalamnya, kecuali Situs Pugung Raharjo (Rr. Triwurjani, 2011). Warga setempat sangat ramah, bahkan bersedia mengantarkan kami ke lokasi situs.
(berandadesa.com - sejarah)
Lokasi situs ini sesungguhnya tak terlalu sulit dicari, laporan tentang hasil ekskavasi Situs Pejambon cukup lengkap memuat titik koordinatnya. Hanya saja jalan menuju ke situs di tepi sungai yang agak sulit, mengingat kondisi jalan masih berupa tanah. Meski demikian, mengkonfirmasi kepada penduduk setempat tetap dirasa perlu, sekaligus memohon izin untuk menyambanginya. Rupanya masyarakat setempat tidak mengetahui keberadaan situs yang dimaksud, mereka hanya mengetahui adanya makam panjang yang sering diziarahi oleh masyarakat dari tempat lain, khususnya suku Lampung yang dianggap oleh warga setempat kemungkinan adalah makam leluhurnya. Keberadaan makam ini juga disebutkan dalam laporan arkeologi yang diidentifikasi sebagai makam keramat. Maka cukup meyakinkan bahwa keberadaan situs memang berada di sekitar makam itu. Hal ini juga menjadi keunikan tersendiri, sebab hampir seluruh situs megalitik di DAS Way Sekampung selalu dijumpai adanya makam keramat di dalamnya, kecuali Situs Pugung Raharjo (Rr. Triwurjani, 2011). Warga setempat sangat ramah, bahkan bersedia mengantarkan kami ke lokasi situs.
![]() |
Gambar: Temuan lepas artefak berupa fragmen tembikar dan perselin yang tersisa di Situs Pejambon (dok. Utara Nugraha, September 2022) |
Hasil identifikasi terhadap lokasi situs saat ini dengan laporan arkeologi (1997) sangat mengejutkan, karena tidak banyak lagi menunjukkan kecocokan. Perubahan lansekap karena aktivitas manusia diduga penyebabnya. Area kebun kelapa sawit sebagai latar situs tak lagi ada, melainkan telah berganti menjadi ladang tanaman palawija, kebun jagung, kebun pohon jati, dan kebun karet. Benteng parit di sekeliling situs, dan parit yang membagi ruang I dan II juga tak lagi ada. Bahkan ruang II berupa gundukan/gumuk tanah kini telah hilang berganti menjadi cekungan dalam seperti kolam besar dan dasarnya nampak bekas ditanami jagung. Mencermati sekeliling dinding tanahnya, jelas sekali jejak pengerukan tanah di lokasi ini, kemungkinan diambil untuk tanah urugan. Ruang I yang berbatasan langsung dengan aliran Way Sekampung juga telah berkurang elevasinya, karena aktivitas pertanian kebun jagung dan palawija di puncak gundukan/gumuk tanah itu yang menyebabkan erosi.
Beberapa yang tersisa diantaranya hanyalah keberadaan makam di sisi selatan (luar batas benteng parit ruang II) dengan latar ladang jagung serta artefak lepas berserakan di sekitar area ini. Bagian tepi ruang II yang tersisa atau tidak terkeruk tanahnya, masih dijumpai artefak lepas berserakan berupa pecahan tembikar dan porselin. Di ruang I, sebaran artefak berupa fragmen tembikar dan porselin ditemukan di bagian tepi sungai, sangat mungkin disebabkan aktivitas pengolahan tanah (pembajakan) sehingga lapisan tanah atas yang mengandung banyak sisa budaya lampau tergerus, dan sebagiannya luruh atau erosi ke dalam sungai. Kurangnya pemahaman masyarakat setempat terhadap keberadaan situs diduga kuat menjadi penyebab utama eksploitasi tak ramah terhadap lahan situs. Hal ini nampak jelas sejak pertama kali menanyakan lokasi Situs Pejambon kepada warga setempat dan mereka tidak mengetahuinya sama sekali, mereka pada akhirnya mengira bahwa situs yang dimaksud hanyalah makam panjang yang dikeramatkan. Meski demikian, bahkan keberadaan makam yang dikeramatkan itupun nampaknya tak cukup mengendalikan aktivitas eksploitasi lahan di situs ini. Tentu kondisi ini sangat disayangkan, mengingat nilai dan arti penting dari keberadaan Situs Pejambon. Semoga keberadaan Situs Pejambon segera mendapatkan perhatian dan pelindungan dari pemerintah daerahnya, serta berharap permasalahan serupa tidak terjadi di situs-situs lainnya di Lampung.
![]() |
Gambar: Lokasi Situs Pejambon, dimana gundukan/gumuk tanah dan benteng parit di ruang II telah hilang diduga karena pengerukan tanah (dok. Shofiyurahman, September 2022) |
![]() |
Gambar: Makam Keramat berangka tahun 1502 di luar benteng Situs Pejambon (dok. Utara Nugraha, September 2022) |
Baca artikel Sejarah lainnya atau artikel lainnya dari Kian Amboro
Penulis: Kian Amboro - Pegiat Sejarah